SMK dr. SOEBANDI JEMBER
MEMBUKA PENDAFTARAN SISWA BARU TAHUN AJARAN 2020 / 2021
PROGRAM KEAHLIAN Farmasi, Analisis Pengujian Laboratorium, dan Asisten Keperawatan
Mekanisme dan Persyaratan Pendaftaran
- Mengisi formulir pendaftaran
- Lulusan SMP/MTS negeri/Swasta atau lulusan Paket C.
- Menyerahkan persyaratan pendaftaran:
- Fotocopy rapor kelas VII-IX Semester 1 sampai 5
- Pas foto hitam putih 3x4 = 6 Lembar
- Legalisir Ijazah 2 lembar ( Menyusul )
- Legalisir SKHU 2 lembar ( Menyusul )
- Membayar biaya pendaftaran
- Berbadan sehat dan tidak buta warna (lulus tes di SMK dr.SOEBANDI JEMBER)
- Membawa sertifikat penghargaan jika ada untuk jalur PMDP
Jadwal Pendaftaran
Kegiatan
|
Pendaftaran
|
Tes Minat Bakat
|
Pengumuman
|
Gelombang I, PMDP (Penulusuran minat dan Prestasi) |
1 Januari 2020 s/d 3 Februari 2020 |
4 Februari 2020
|
7 Februari 2020
|
Gelombang II |
7 Februari 2020 s/d 10 Maret 2020
|
11 Maret 2020
|
14 Maret 2020
|
Gelombang III |
14 Maret s/d 5 April 2020
|
6 April 2020
|
9 April 2020
|
Gelombang IV |
9 April s/d 10 Meii 2020 |
10 Mei 2020
|
13 Mei 2020
|
|
*materi Tes : Matematika, IPA, Bhs Indo, Bhs Inggris** untuk ujian tulis dan ujian kesehatan*** untuk jalur PMDP hanya menyerahkan persyaratan di nomor 1 dan 2 beserta sertifikat penghargaan. |
|
|
|
|
|
Harga Obat Sebaiknya Dikendalikan
Dalam kurun waktu setahun terakhir, masalah harga obat setidaknya telah dua kali diangkat menjadi headline harian Kompas. Namun, harga obat tetap saja naik. Secara umum, obat dikategorikan menjadi 2, obat paten dan obat generik. Obat paten adalah obat yang masih mendapatkan perlakuan khusus, semacam monopoli, untuk periode tertentu. Selama masa tersebut, obat paten tidak memiliki kompetitor langsung dan biasanya produsen mematok harga mahal karena alasan pengembalian investasi. Obat generik adalah obat yang hak patennya sudah lewat. Setelah obat melewati masa patennya, dalam hitungan hari akan muncul obat generiknya di pasar. Memasarkan obat generik, bisa menggunakan nama dagang atau tidak. Para produsen obat generik menggunakan sumber dan asal bahan baku yang setara. Pertimbangan utamanya adalah kualitas, harga dan delivery. Mereka sangat peduli terhadap masalah ini, karena bahan baku memiliki kontribusi besar dalam membentuk harga pokok produksi. Di Indonesia terjadi salah kaprah. Obat generik yang dipasarkan dengan nama dagang, dianggap obat paten. Yang dianggap generik adalah obat yang dipasarkan menggunakan nama generik (international nonpropretiary name). Kondisi ini dimanfaatkan produsen, untuk menetapkan harga obat generik bermerek mendekati (bahkan bisa lebih mahal dari) obat paten.
Struktur Harga dan Pola Persaingan Komponen harga obat, secara umum terdiri dari biaya bahan baku, bahan kemasan, biaya produksi (ketiganya membentuk harga pokok produksi), biaya pemasaran, biaya distribusi dan laba. Kecuali biaya pemasaran dan laba, harga pokok produksi dan biaya distribusi, relatif sama antara produsen yang satu dan lainnya. Perbedaan timbul karena faktor efesiensi. Besaran biaya pemasaran dan laba yang ingin diraih, tidak ada referensi yang baku. Acapkali produsen menggunakan harga obat paten dan obat sejenis yang sudah beredar sebagai acuan. Ada pula teori tidak tertulis bahwa harga jual minimal 4 kali harga pokok produksi. Makin efisien proses produksi, makin besar alokasi untuk biaya pemasaran atau laba yang ingin dicapai. Atas struktur harga yang demikian, ada obat generik bermerek menjadi top of mind penulis resep sehingga angka penjualannya meledak. Sudah menjadi rahasia umum, mungkin terjadi kolusi antara produsen dan penulis resep. Konsumen sebagai the real buyer, tidak memiliki informasi memadai. Terjadi distribusi informasi yang asimetris. Mekanisme pasar tidak berjalan sempurna. Produsen yang tidak sabar atau tidak memiliki strategi pemasaran jitu, atau malas bersaing dengan pola yang sudah ada, bisa ambil jalan pintas. Mereka membuang habis biaya pemasaran dalam bentuk diskon. Kata ahli pemasaran, mereka menggunakan strategi push demand. Tak perlu heran bila ada obat yang memberi diskon puluhan persen. Fenomena yang sama, terjadi pada obat yang masuk program asuransi. Purchasing power asuransi demikian besar, sehingga harga obat bisa turun signifikan; termasuk obat paten. Produsen memangkas biaya pemasaran, bila perlu mengurangi porsi laba, untuk menurunkan harga. Produsen tidak kehilangan akal untuk menjustifikasi kebijakan tersebut. Mereka berkilah, memasarkan ke perusahaan asuransi jauh lebih mudah dan ekonomis. Juga karena perusahaan asuransi telah menentukan plafon harga.
Strategi Pengedalian Harga Dari uraian di atas, cara efektif untuk mengendalikan harga adalah diberlakukannya program asuransi kesehatan bagi semua. Melalui sistem asuransi, mekanisme pasar akan berjalan sempurna. Produsen harus efisien agar bisa bersaing. Tidak akan ada lagi harga obat generik (bermerek) yang harganya mendekati atau lebih mahal dari obat paten. Selagi sistem asuransi belum bisa diterapkan penuh, perlu dipertimbangan model pengendalian harga melalui pengendalian biaya pemasaran. Pemerintah berhak mengatur tataniaga obat, bila mekanisme pasar tidak berjalan sempurna. Sasarannya, obat generik bermerek atau tidak. Untuk obat yang sama, komponen biaya pemasaran dan laba yang ingin diraih adalah 2 faktor yang sangat bervariasi nilainya antara masing masing produsen. Laba adalah hak asasi perusahaan. Tidak demikian dengan biaya pemasaran. Atas nama konsumen, Pemerintah seyogyanya mengendalikan besaran biaya pemasaran. Biaya pemasaran misalnya dibatasi maksimal 20% dari harga pokok produksi. Harga pokok produksi jenis obat yang sama relatif sama. Maka, besarnya biaya pemasaran antar produsen kurang lebih juga sama. Dengan pola demikian, perbedaan harga obat timbul karena perbedaan target laba yang ingin diraih produsen. Bila hal ini bisa diterapkan, tidak terjadi lagi pemasaran yang jor-joran dan cenderung tidak etis antar produsen obat. Kemungkinan kolusi juga berkurang, akibat minimnya biaya pemasaran. Dan penulis resep bisa lebih objektif memilihkan obat yang sesuai kondisi ekonomi pasien.
Standarisasi Gaji Tenaga Teknis Kefarmasian | Upah TTK
Pada kesempatan-kesempatan sebelumnya saya sering menjelaskan bahwa permasalahan gaji Tenaga Teknis Kefarmasian ini tidak akan selesai selama pelaksananya dilapangan tidak sesuai dengan ketentuan. Yah, percuma aja gaji setinggi langit kalau kenyataan dilapangan ada aja yang mau nerima gaji dibawah standar. Anehnya yang disalahin bukannya penerima gaji dibawah standar atau pemberi gaji itu, tapi PAFI sebagai organisasi TTK juga dibawa-bawa. Ngerti kan, anehnya kenapa! Aneh bahwa pemerintah sudah dengan tegas menetapkan UMR, tapi karena pengusaha dan pekerja ga mematuhi malah organisasi yang disalahin. Masih mending kalau yang yang membawa-bawa tersebut aktif di organisasi untuk membantu, kalau cuma nunjuk-nunjuk doang yah gimana gitu. Tapi disini saya bukan hanya ingin menunjukkan permasalah, tetapi juga memberikan sesuatu yang bisa dicontoh dari rekan kita di SULSEL agar standarisasi upah TTK ini dapat terlaksana dilapangan dengan baik. Upah Minimum Regional, Upah Minimum Propinsi, dan Upah Minimum Kota/Kabupaten; merupakan standarisasi gaji bagi seluruh tenga kerja di indonesia. Dari namanya, saya kira udah pada mengerti kan perbedaan ketiga jenis standar upah tersebut. Karena sifatnya yang umum ini, maka biasanya seluruh tenaga kerja mematok besaran yang demikian diatur dalam standarisasi tersebut. Termasuk kita yang berkerja dibidang farmasi, berkeingingan agar minimum sama dengan batas minimal UMR. Juga kita mengetahui banyak alasan mengapa banyak diantara kita yang mau saja menerima gaji dibawah swtandar. Ada yang berasalan baru bekerja/ lulus pendidikan, kerja sambilan, sebagai bantu loncatan, dan lain lain. Karena sifat kontrak kerja yang hanya mengikat antara pekerja dan pengusaha, maka sudah sewajarnya aparat yang berwenang tidak dapat berkutik sebelum salah satu pihak mengajukan keberatan. Tapi apa benarkah kita akan mengajukan keberatan bila merasa diberi upah yang tidak layak? kebanyakan sih berhenti dan mencari kerja lain, ya ngaa. Baik, sebagaimana saya sebut diatas bahwa saya ingin memberikan sebuah contoh yang memungkinkan penerapan dilapangan bisa lebih baik antara kita TTK sebagai pekerja dan pengusaha. Contoh ini saya inspirasikan dari Rakerda IAI Propinsi Sulawesi Selatan tanggal 25 Oktober 2011 kemarin. Rakerda IAI SULSEL diagendakan untuk melantik 75 pengurus baru. Banyak ya? Kalau menurut saya sih itu bagus, karena semakin banyak maka semakin kecil terjadi bentrokan kepentingan. Lho kok? Maksudnya, ya tau sendirilah yang namanya organisasi non profit. Pengurusnya harus bekerja dengan mental keiklasan, tanpa digaji. Plus sebagai manusia yang perlu mencari nafkah juga, yang bekerja mungkin bisa di 3 tempat berbeda. Kemudian diminta waktunya untuk mengabdi dan berkarya melalui organisasi, tentunya akan banyak terjadi bentrokan jam kerja dengan pengurus lainnya. Kalau banyak yang jam kerjanya benturan, sedangkan pertemuan hanya bisa dilaksanakan di satu tempat dan disatu waktu, tentu pertemuan itu tidak dapat terlaksana dengan baik. Nah dengan banyaknya pengurus, saya kira tentu akan lebih memperkecil hambatan tersebut. Percaya dah, ada banyak hal lain yang memerlukan banyak partisipasi dari rekan-rekan semua. Selain mengagendakan pelantikan kepengurusan, Rakerda IAI SULSEL ini juga dilaksanakan perjanjian kerja sama antara IAI dan GP Farmasi SULSEL. MOU dengan Gabungan Pengusaha Farmasi ini mengenai standarisasi gaji Apoteker dan hak pelayanan obat di Apotek. Rekan-rekan mungkin berpikir, berapa sih gaji Apoteker samapai harus distandarisasi segala! Berikut saya kutip pernyataan ketua terpilih IAI SULSEL Yagkin Padjalangi : Standarnya nanti tetap mengacu UMP. Selebihnya sesuai kemampuan perusahaan epotek masing-masing. Yang jelas tidak adami gaji (untuk tenaga kerja apotek) yang berada di bawah Rp1 jutaan. Karena selama ini ada yang masih menerima Rp600-700 ribuan perbulan. Sekedar informasi dari yang saya baca, beliau ini adalah ketua komisi E DPRD SULSEL dari partai GOLKAR . Nah bagi yang kemarin-kemarin suka ngatain bahwa gaji apoteker itu udah diatas standar, silahkan berpikir ulang ya. Serta yakinlah bahwa ini tidak hanya di pekerja bidang farmasi saja. Masih banyak tenaga kerja lain yang mengalami hal yang serupa. Sekarang rekan semua sudah tau contoh yang saya jadikan acuan sekarang ini. Saya sebut sekarang karena sebenarnya sebelum-sebelumnya untuk saya pribadi pernah mencoba melakukan hal yang sama, bahkan dapat lebih baik bila dipahami. Maklum sajalah, yang namanya demokrasi itu kan mengandalakan suara terbanyak. Benar atau salah urusan belakangan . Pada intinya marilah kita berusaha bekerja sama dengan GP Farmasi untuk menyelesaikan masalah gaji TTK ini. Tapi jangan kita jangan hanya bisa menunjuk saja, berilah suatu kontribusi sebagai anggota PAFI, dengan begitu pasti akan berjalan lebih baik. Yang saya maksud hasilnya akan lebih baik daripada MOU IAI-GP Farmasi itu ialah apabila kita bisa mendapatkan standarisasi berdasarkan UMS. Upah Minimum Sektoral ialah standarisasi upah untuk pekerja dibidang tertentu, yang dalam hal ini semoga dapat diberlakukan untuk TTK. Sebagai contoh, pekerja perusahaan tambang lebih besar dari UMR/UMP/UMK karena mereka memiliki UMS tersendiri. Tapi tentunya untuk mendapatkan standarisasi UMS bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan kerjasama antara organsiasi pekerja untuk TTK, kemudian organsiasi pengusaha farmasi, serta juga keterlibatan unsur pemerintah. Bukanlah sesuatu yang mustahilkan bila kita bekerja sama untuk memperolehnya? Hal ini bisa dilakukan berdasarkan daerah, tidak perlu menunggu pusat atau daerah lain. Ok, semoga hal ini dapat menginspirasi rekan semua. Salam PAFI
|